Desa Toro, Kulawi
Toro merupakan nama salah satu desa di
kecamatan Kulawi, kabupaten Sigi, propinsi Sulawesi Tengah. Wilayah desa Toro
dikelilingi Taman Nasional Lore Lindu. Di desa Toro terdapat sebuah rumah adat
yang dinamakan Lobo. Hingga saat ini, masyarakatnya masih memiliki adat dan
kebudayaan yang kuat. Pemerintahan di Desa Toro masih dipengaruhi oleh Tetinggi
Adat antara lain, Totua Ngata, Mardika Ngata, dan Tina Ngata.
Desa Toro memiliki cerita sejarah yang
mistik. Diceritakan bahwa masyarakat asli Toro adalah korban penyerangan
makhluk halus yang berhasil melarikan diri. Konon masyarakat asli Toro
sebelumnya tinggal di suatu daerah yang bernama Malino.
Cerita Rakyat: Sejarah Desa Toro
Alkisah pada musim panen dahulu kala,
anak-anak desa Malino suka bermain gasing-gasingan bersama tiap sore hari.
Mereka bermain setelah bekerja membantu orang tua di kebun.
Suatu ketika di tengah keramaian anak-anak
desa, datanglah seorang anak yang aneh. Mereka tidak menyadari kalau anak aneh
itu adalah anak makhluk halus dari negeri Bunian. Anak aneh itu tidak
menggunakan gasing dari kayu seperti yang lainnya. Gasingnya terbuat dari emas.
Anak-anak desa pun heran, mereka tidak
mengetahui dari mana asal anak aneh itu. Mereka juga tidak mengetahui kemana
perginya ketika selesai bermain. Kejadian ini anak-anak desa perhatikan
beberapa hari. Anak aneh itu datang dan pergi secara tiba-tiba.
Setelah berhari-hari, anak-anak desa
berani untuk menceritakan kejadian itu kepada orang tua mereka. Para orang tua
pun ingin membuktikan perkataan anak-anaknya. Sehingga pada suatu ketika, para
orang tua mengikuti anak-anaknya saat bermain gasing.
Saat menyaksikan ramainya permainan, para
orang tua pun juga melihat anak aneh itu. Hal ini membuat para orang tua
percaya akan cerita anak-anak mereka.
Kemudian, dari mulut ke mulut cerita
tentang anak aneh itu tersebar ke seluruh masyarakat. Cerita ini membuat heboh masyarakat Malino.
Oleh karena itu, masyarakat Malino pun mengadakan musyawarah besar. Musyawarah
tersebut berakhir dengan keputusan untuk membunuh anak aneh itu dan mengambil
gasing emasnya.
Ketika sore hari berikutnya anak aneh itu
datang kembali untuk bermain gasing bersama anak-anak desa. Ternyata keputusan
musyawarah tersebut benar-benar dilaksanakan oleh masyarakat Malino. Seketika
para orang tua menangkap anak aneh itu dan merampas gasing emasnya. Setelah
ditangkap, tanpa ampun anak aneh itu mereka bunuh.
Masih pada hari yang sama, saat menjelang
matahari sore terbenam makhluk halus dari negeri bunian tidak lain yaitu orang
tua anak aneh itu datang ke Malino. Mereka mendapati anaknya sudah tak
bernyawa. Sehingga para makhluk halus itu pun sangat murka terhadap masyarakat
malino.
Sesaat kemudian datanglah tangan-tangan
terbang yang bersenjatakan parang menuju kerumunan masyarakat Malino. Ternyata
tangan-tangan terbang itu adalah para makhluk halus yang hanya menampakkan
tangan dan senjatanya. Para makhluk halus itu menuntut balas atas pembunuhan
yang dilakukan masyarakat Malino terhadap seorang anak dari bangsa mereka. Maka
terjadilah pertumpahan darah besar-besaran.
Hampir seluruh masyarakat Malino menjadi
korban balas dendam makhluk halus tersebut. Di tengah-tengah berjatuhnya korban
ada beberapa orang dari masyarakat Malino berhasil melarikan diri. Walau bagai
telur yang telah diujung tanduk, namun mereka pun selamat dari maut.
Masyarakat Malino yang berhasil melarikan
diri terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok lari ke arah Timur, dan
kelompok lainnya lari ke arah Barat. Desa Malino pun menjadi desa mati yang
mengerikan.
Kedua kelompok yang telah berhasil
menyelamatkan diri pun terpisah semakin jauh. Masing-masing kelompok melakukan
perjalanan yang sangat panjang. Tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, dan mengalami berbagai macam peristiwa.
Bertahun-tahun lamanya, regenerasi telah
terjadi. Kedua kelompok yang selamat telah memiliki anak dan cucu. Setelah
hidup berpindah-pindah, keturunan orang Malino yang lari ke arah Timur
menemukan suatu lembah yang mereka jadikan tempat untuk tinggal menetap. Lembah
itu dikelilingi bukit dan dialiri oleh sungai.
Begitu pula keturunan orang Malino yang
lari ke arah Barat, mereka juga memutuskan untuk menetap di suatu tempat. Tak
disangka-sangka tempat menetap mereka hanya berseberangan sungai dengan tempat
menetap keturunan orang Malino yang lari ke arah Timur. Kedua kelompok ini masih
tidak saling mengatahui satu sama lain karena rentang waktu yang sangat
panjang.
Pada suatu ketika, kedua kelompok ini
saling bertemu. Keduanya bertemu saat berburu hewan di hutan. Keduanya
berkenalan satu sama lain. Sambil menunggu hewan buruan mereka bercerita dan
bercanda. Topik cerita mereka pun menjurus tentang silsilah keturunan dan
sejarah hidup. Mereka terkejut saat tahu mereka sama-sama keturunan orang
Malino.
Karena telah mengetahui keduanya adalah
sama-sama keturunan orang Malino, mereka memutuskan untuk bersatu kembali.
Mereka menyatukan wilayah kekuasaan tempat tinggal mereka yang hanya
berseberangan sungai. Wilayah itu pun
mereka namakan Toro atau yang biasanya mereka sebut Ngata Toro.
Toro dalam bahasa kulawi berarti
"Sisa", sedangakan Ngata berarti "Kampung". Mereka
menamakannya dengan nama tersebut karena ingin mengenang bahwa mereka adalah
sisa-sisa orang Malino. Mereka adalah sisa-sisa orang Malino yang bertahan
hidup dalam penyerangan makhluk-makhluk halus dahulu kala. Keturunan orang
Malino pun hidup menetap di Toro hingga saat ini.
Sekian.
(narasumber oleh, Totua Ngata
Toro : TOLAU TARETOTO & RAHMAN PEPULOI)
(tulisan dan gambar oleh, M.
ARMAND ZURHAAR | kakarmand.blogspot.com)